top of page

Pemuda adalah Percikan Api di setiap Revolusi

Perspektif pemuda internasionalis

Seiring berjalannya waktu, konflik di seluruh dunia semakin dalam. Tidak mungkin menganalisis situasi politik-militer global dalam beberapa halaman saja. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa krisis politik di AS tercermin dengan jelas pada kandidat pemilihan presiden. Trump muncul sebagai kandidat favorit, dan Partai Demokrat mengalami krisis yang disebabkan oleh penolakan Biden untuk mengundurkan diri. Setelah Biden membuat keputusan itu, Kamala Harris telah bangkit sebagai pemimpin baru "kekuatan progresif" dunia. Kita dapat melihat dengan jelas representasi dari dua garis politik dengan pengaruh yang kuat di dunia dan, yang terpenting, sebuah rencana bersama. Rencana tersebut adalah untuk mempertahankan imperialisme AS di dunia yang semakin terpecah-pecah, di dunia yang lepas dari kendali AS karena ketidakmampuannya untuk beradaptasi dan bersikap fleksibel. Dalam konteks ini, kekuatan seperti Federasi Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok telah menemukan celah untuk mengembangkan politik imperialis mereka sendiri. Kekuatan globalis dalam situasi Perang Dunia Ketiga akan menjadi mereka yang berada di bawah pengaruh AS, NATO, dan organisme supra-negara lainnya. Mereka membela Negara-Bangsa yang berguna dan tunduk pada kepentingan AS. Kekuatan statis adalah mereka yang membela bentuk klasik Negara-Bangsa, dan karena itu mereka berkomitmen dalam fase sejarah ini terhadap "dunia multi kutub", tatanan global di mana di setiap kawasan akan ada, paling tidak, satu Negara-Bangsa atau banyak sekutu yang akan menghadapi imperialisme AS. Namun visi ini, dengan mempertimbangkan hakikat monopoli dan imperialis Negara-Bangsa, akan menjadikan kekuatan regional ini melayani kekuatan global. Hubungan ini bisa jadi mirip dengan hubungan Lebanon-Iran. Iran tidak pernah menduduki Lebanon, tetapi, pada kenyataannya, ia tidak memiliki kedaulatannya sendiri. Hal yang sama terjadi dalam hubungan negara-negara di bawah pengaruh NATO, mereka dapat memiliki otonomi hanya jika mereka bertindak mengikuti kepentingan ekonomi dan geopolitik AS.


Jika kita mulai mencermati situasi di benua Amerika, kita dapat melihat pertarungan sengit—yang selama ini diekspresikan dalam ranah ekonomi, politik, dan paramiliter—antara kekuatan globalis dan kekuatan negara. Rusia dan Cina telah berupaya selama bertahun-tahun untuk memperluas pengaruh mereka di Amerika Latin, dan AS selalu memperlakukan benua itu sebagai "halaman belakangnya". Perpecahan AS telah memberi jalan bagi Rusia dan Cina untuk memperkuat pengaruh mereka, khususnya melalui perjanjian dengan rezim "anti-imperialis" di benua itu, yaitu Kuba dan Venezuela. Kaum kiri progresif Amerika Latin yang baru juga berpartisipasi dalam proses ini. Negara-negara seperti Ekuador atau Bolivia telah mengalami gempa politik besar akibat intervensi AS dalam beberapa tahun terakhir. Rezim seperti Milei di Argentina atau bekas rezim Bolsonaro di Brasil tidak dapat diwujudkan tanpa dukungan material dan ideologis dari AS.


Meningkatnya ketidakamanan di benua ini merupakan konsekuensi langsung dari politik imperialis. Paramiliterisme adalah alat di tangan imperialisme yang digunakan untuk melawan rakyat agar tetap terkendali melalui rasa takut atau untuk menciptakan ketidakstabilan kapan pun diperlukan. Itulah sebabnya siapa pun akan terkejut ketika mengetahui hubungan antara negara dan pasukan paramiliter.


Di Afrika, konflik berdarah yang berasal dari konfigurasi ulang benua terus berlanjut. Negara-bangsa tidak akan meninggalkan benua Afrika dengan damai. "Timur" dan "Barat" menggunakan benua itu sebagai medan perang dan untuk ekstraksi bahan mentah. Imperialisme budaya Yankee di satu sisi dan sekolah Rusia untuk anak-anak Afrika di sisi lain adalah salah satu contoh dari hal tersebut. Dalam situasi ini, orang-orang Afrika mencoba untuk membebaskan diri dari satu sama lain. Pemuda Kenya memimpin salah satu pemberontakan paling penting dalam beberapa tahun terakhir di benua itu. Sementara itu, orang-orang Sahel terus berjuang untuk mengusir pasukan AS keluar dari wilayah mereka. Situasi ini mungkin akan terus berkembang ke arah yang sama dan menjadi refleks populer akan semakin kuat.


Tidak diragukan lagi Timur Tengah adalah pusat Perang Dunia Ketiga saat ini. Serangan Israel terhadap Gaza mencapai satu tahun. Pada saat yang sama, Turki—pendorong utama situasi saat ini—mengembangkan salah satu operasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir melawan gerilyawan di selatan Kurdistan (Utara Irak). Lebih dari 10.000 tentara dan lebih dari 300 tank tempur telah melintasi perbatasan selatan Turki pada Juni lalu untuk menyerang posisi gerilyawan. Sejak 2021, seluruh wilayah terus menjadi sasaran jet tempur, pesawat tak berawak, helikopter, dan infanteri Turki bersama dengan tentara bayaran ISIS. Namun, sejak 2021 mereka belum mencapai kemenangan militer yang signifikan. Perlawanan gerilyawan Kurdi tetap bertahan.


Faktor penting yang harus kita perhitungkan adalah bahwa Perang Dunia Ketiga bukanlah konflik global yang dapat dikembangkan dengan peralatan biasa. Sering dikatakan bahwa Perang Dunia Pertama didasarkan pada dikembangkannya jet tempur dan yang kedua adalah tank. Perang Dunia Ketiga akan didasarkan pada setiap bentuk peperangan tidak teratur, intelijen, psikologis, operasi sipil dan, dalam tingkat teknis, kamera termal dan pengembangan perang di bidang internet dan "aero-spasial ". Akhir-akhir ini, NATO dan AS mendasarkan sebagian besar sumber daya material dan intelektual mereka pada pengembangan kamp-kamp ini. Peperangan kognitif yang menjadikan seluruh tubuh dan pikiran setiap orang sebagai medan perang sedang dikembangkan. Bukan kebetulan dalam konteks ini, bahwa Kecerdasan Buatan sedang dikembangkan sedemikian rupa. AI adalah alat yang dapat sangat berguna secara sosial, tetapi tujuan di balik konsepsinya sendiri adalah untuk melayani kepentingan kapitalisme. Ini adalah alat kontrol ideologis yang belum pernah ada sebelumnya. Tidak perlu membicarakan penipuan besar yang dilakukan atas nama AI seperti "toko tanpa kasir" dari Amazon, yang sebenarnya menyembunyikan lebih dari seribu pekerja di India yang mengendalikan kamera toko-toko ini untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh AI. Kita telah sampai pada titik di mana komputer memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikatakan, bagaimana menulis teks dan bagaimana berteman. Jika kita berhenti sejenak untuk memikirkannya, kita akan menyadari bahwa kita hidup dalam distopia. Pengaruh alat semacam ini di setiap lapisan masyarakat—AI sudah menjadi tren—tidak dapat dianalisis sebagai suatu kebetulan. Kapasitas militer AI tidak memiliki batas. AI sudah diuji di Gaza—setelah membunuh seorang pekerja sosial, permintaan maaf dari Pasukan "Pertahanan" Israel didasarkan pada menyalahkan AI atas suatu kesilapan. Benar atau tidak, AI sudah berfungsi untuk menghindari tanggung jawab. Semua sistem pengenalan wajah—semakin banyak hadir di ruang publik di seluruh dunia—akan dikembangkan dan diperluas berkat AI juga.


Kita dapat terus menganalisis situasi dunia dari perspektif ini. Namun, jika kita ingin memahami secara mendalam dan menemukan jalan keluar dari situasi yang tampak putus asa ini, kita harus menganalisis situasi tersebut dengan wawasan yang lebih dalam. Artinya, biasanya, ketika kita berpikir tentang geopolitik, kita hanya berpikir tentang hubungan antara negara-negara lokal dan kekuatan internasional di satu kawasan, tetapi kita mengabaikan seluruh bagian dari situasi tersebut: masyarakat yang tinggal di wilayah konflik dan keinginan, budaya, sejarah, dan perlawanan mereka sendiri. Di luar negara-negara, selalu ada masyarakat, rakyat, dan keinginan mereka. Ketika Abdullah Öcalan berbicara tentang Modernitas Demokratis, ia merujuk pada hal ini. Ini adalah salah satu faktor kunci dalam perkembangan sejarah. Setiap analisis—yang kita baca di media massa—sengaja mengabaikan bagian ini. Ketika berbicara tentang semua dimensi ini, hal tersebut biasanya dilakukan untuk dapat memanipulasinya, untuk menggunakannya demi kepentingan mereka sendiri.


Abdullah Öcalan menjelaskan bahwa setiap negara dan setiap rezim penindasan membutuhkan masyarakat untuk dieksploitasi secara material dan non material, sedangkan masyarakat tidak membutuhkan negara untuk eksis. Nilai ekonomi, ideologi, moral, budaya, dan lain-lain dari sebuah negara selalu didasarkan pada asimilasi nilai yang diciptakan oleh masyarakat di semua bidangnya. Oleh karena itu, ketika kita melihat situasi geopolitik, jika kita ingin memahami mengapa AS tidak mampu menjadi satu-satunya kekuatan hegemonik dunia setelah jatuhnya Uni Soviet, kita harus menganalisis keadaan Modernitas Demokratis. Politik imperialis AS tidak cukup untuk menundukkan masyarakat yang menjaga hubungan kuat dengan budaya, sejarah, dan wilayah mereka. Itulah sebabnya Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan wilayah lain terus menjadi wilayah perang dan konflik yang terus-menerus. Jalan yang diusulkan oleh Öcalan dalam tulisan pembelaannya agar wilayah-wilayah ini dapat keluar dari kekacauan, justru merupakan rekonstruksi kekuatan-kekuatan demokratis tersebut secara global. Artinya, kekuatan-kekuatan kerakyatan yang belum sepenuhnya berasimilasi dengan negara, yang telah terpinggirkan, atau yang telah bangkit melawan negara, bersatu secara global dan mengembangkan bentuk organisasinya sendiri.


Peran yang dimainkan oleh orang muda dalam proses ini sangat lah penting. Orang muda pada umumnya, dan khususnya para perempuan muda, adalah percikan dari setiap revolusi. Kita tidak dapat melihat sejarah dan menemukan revolusi tanpa pemuda. Kita adalah faktor yang paling dasar. Kita harus menyadari kenyataan ini, kita harus menyadari peran historis kita. Dengan melakukan ini, kita dapat membekali diri kita dengan rencana yang akan memungkinkan kita untuk menyatukan tindakan dan tujuan. Pemuda tidak boleh dikutuk untuk menjadi budak sistem kapitalis. Di Kenya, kita telah melihat ini dengan jelas. Pemuda menyalakan api pemberontakan. Media dengan cepat mengkatalogkan pemberontakan di Kenya sebagai pemberontakan "Gen-Z", dengan demikian mengkatalogkan pemuda dalam budaya yang telah ditentukan. Ini adalah usaha untuk membatalkan kapasitas kreatif kita dan menempatkan kita dalam sebuah cetakan. Dengan klasifikasi sebagai " Millenial ", "Gen-z" dan banyak nama lainnya, mereka telah mencoba untuk menciptakan identitas, cara berpakaian, berbicara, musik dan budaya untuk seluruh generasi, mengembangkan liberalisme dalam bentuk konkret pada generasi tersebut. Menerima pengklasifikasian seperti ini adalah berarti kematian kita, berarti menyerah pada karakteristik dasar kita sebagai kaum muda. Namun, jika kita menolak label dan mentalitas yang dipaksakan oleh sistem, mengambil kesadaran sebagai Pemuda Internasionalis di tingkat global dan mengorganisasi diri kita sendiri, adakah yang dapat menghentikan kita?


0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page